Jumat, 23 Oktober 2009

Strategi Migrasi MS Windows ke Linux


Artikel ini dibuat dengan harapan dapat memberikan sedikit petunjuk mengenai strategi melakukan migrasi MS Windows ke Linux, terutamanya dalam hal Open Office, Samba (File Server), dan dosemu. Latar belakang: Mengapa membuang ratusan juta rupiah untuk lisensi bila tersedia solusi lisensi lain seharga 0 rupiah?

Semua manajemen perusahaan sudah saatnya sadar bahwa di tengah kondisi ekonomi dan persaingan bisnis yang semakin ketat, segala bentuk penghematan sebisa mungkin harus dilakukan. Dan juga kita ketahui, selama beberapa bulan terakhir ini Microsoft Indonesia dan rekannya BSA (Business Software Alliance) gencar mengejar2 perusahaan di Indonesia untuk membayar lisensi atas penggunaan produk2nya.

Hal ini memang tidak dapat kita salahkan dan memang merupakan hak mereka sebagai pemegang hak cipta program2 tersebut. Namun seperti yang kita ketahui, lisensi paling murah dari MS Office basic yang hanya meliputi Word, Excel, dan Powerpoint adalah sekitar $150 dollar (atau Rp. 1,5 juta). Kalau misalkan sebuah perusahaan memiliki 100 PC, maka dia harus membayar sekitar Rp. 150 juta. Belum lagi lisensi OSnya seperti WinXP yang sekitar $140 dollar. Berarti total harga adalah sekitar Rp. 3 juta per PC, dikali 100 berarti Rp. 300 juta. Belum lagi lisensi servernya, CAL (client access license), dll. Bagi perusahaan menengah yang memiliki sekitar 100-300 PC, biayanya bisa mencapai milyaran rupiah!

Namun tentu saja, migrasi ini tidak semudah yang kita bayangkan. Perusahaan tetap perlu menimbang cost and benefit yang ada. Oleh karena itu, strateginya adalah:
  • Melakukan analisa penggunaan PC dan aplikasinya secara detail atas seluruh PC yang ada. Disini kita mesti melakukan inventory atas program2 apa saja yang selama ini digunakan. Mana PC yang hanya digunakan untuk fungsi2 administratif seperti mengetik, spreadsheet, dll. Mana PC yang dipakai untuk menjalankan program2 tertentu. Program2 apa saja itu, platform dan bahasa pemrograman apa yang digunakan, dll.
  • Berdasarkan data2 yang kita peroleh dari analisa di atas, maka kemudian kita melakukan analisa deployment coverage. Di dalam analisa ini, kita melakukan penelitian terhadap seluruh PC yang ada:- PC mana yang dapat dilakukan 100% migrasi, baik dari sisi OSnya, ataupun aplikasi officenya.
- PC mana yang dapat dilakukan 50% migrasi, apakah hanya officenya saja?
- PC mana yang karena kebutuhan, tidak dapat dilakukan migrasi sama sekali, alias 0%.

  • Berdasarkan 3 skenario di atas, kita buatkan juga analisa biayanya untuk kita persentasikan ke manajemen. Tentu alangkah baiknya bila seluruh PC dapat kita migrasi 100%, tapi dari pengalaman, hal ini sulit dicapai karena biasanya ada beberapa fungsi dari perusahaan yang sudah/sementara ini terlanjur terikat dengan produk Microsoft atau propietary lainnya. Menyedihkan memang.


Studi kasus:

Untuk lebih jelasnya, kita bahas studi kasus berikut ini.

Sebuah perusahaan periklanan menengah memiliki sekitar 300 PC yang tersebar di beberapa cabang dalam dan luar kota.

Pihak manajemen baru2 ini risau karena mendapat surat dari Microsoft Indonesia yang isinya "menghimbau" untuk segera menginventori status lisensi atas OS dan software yang digunakan di PC2 mereka. Setelah mencari info dari rekan2, diperoleh perkiraan harga bahwa biaya yang diperlukan adalah sekitar Rp. 1,5 juta untuk lisensi WinXP, dan Rp. 1,5 juta untuk lisensi MS Office basic (Word, Excel, Powerpoint), dan beberapa belas juta untuk lisensi per W2k3 server. Hitungan kasar biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli lisensi sekitar 300 PC tersebut adalah Rp. 900 juta s/d 1,1 M.

Dengan menggunakan tahapan analisa diatas, didapatlah hasil sebagai berikut:
1. Sekitar 30% PC yang ada, hanya digunakan untuk keperluan aplikasi office, yaitu word processor dan spreadsheet.
2. Sekitar 50% PC yang ada menjalankan program accounting, dan sales yang ditulis menggunakan VB yang dishare di server.
3. Sekitar 20% PC yang ada menjalankan program finance yang ditulis menggunakan clipper yang dishare di server Novell.
4. Spesifikasi PC2 yang ada bervariatif, mulai dari Pentium Classic (kebanyakan untuk menjalankan program clipper), Pentium 2, 3, dan Pentium 4.

Baik, disini kita telah dapat mulai dapat fokus atas apa yang dapat kita migrasikan. Karena waktu yang mendesak, maka kita konsentrasi ke PC2 yang benar2 dapat dimigrasi.

PC2 yang menggunakan program VB kita tinggalkan dahulu untuk sementara waktu.

Untuk PC2 yang hanya digunakan untuk aplikasi office, maka dapat segera kita migrasikan ke Linux namun karena bervariasinya spesifikasi yang ada, maka kita mesti mendetailkannya sebagai berikut:
1. Untuk Pentium Classic, kita menggunakan distro Mandrake 9.0 ataupun RH 8.
2. Untuk Pentium 2 dan 3, kita bisa gunakan Mandrake 9.2, 10, ataupun RH 9.
3. Untuk Pentium 4, dapat kita gunakan distro FC4 atau Mandriva 10.2.

Untuk PC2 yang menggunakan aplikasi clipper dan dishare menggunakan Novell, kita dapat "mensimulasikannya" menggunakan Samba dan dosemu.

Berikut ini adalah tricknya:
1. Kita copy file2 aplikasi ke dalam sebuah server Linux, lalu kita share menggunakan samba.
2. Kita buat share samba tersebut seperti biasa saja, tapi kita tambahkan configurasi lakukan ini:
- create user yang special untuk mengakses share tersebut di server dan di workstation.
- kita chmod 777 direktori sharenya di server.
- kita tambahkan baris ini di smb.conf:
create mask = 777
default case = upper
preserve case = no
3. Kita chmod 4555 file /usr/sbin/smbmnt di workstation
4. Kita buat baris ini di /etc/fstab masing2 workstation:
//ipserver/namashare /home/user/mountpoint smbfs rw,user,noauto
5. install dosemu di masing2 workstation

Maka kita dapat konek ke server samba dan menjalankan aplikasi clipper itu dengan cara:
1. Buka console.
2. Konek share samba tersebut sekaligus membuat mount pointnya di workstation:
- mount /home/user/mountpoint
- masukkan password jika perlu
3. Hidupkan dosemu
4. Masuk mount point itu, dan jalankan program clipper seperti biasa.

Dari penjelasan di atas memang terbersit harapan bahwa kita dapat melakukan penghematan sampai beberapa ratus juta rupiah dari biaya lisensi. Hal ini tentu bukan jumlah yang kecil dan perusahaan dapat sedikit bernafas lega.

Namun begitu, berdasarkan pengalaman, masih ada beberapa analisa yang harus dilakukan demi keberhasilan proses migrasi ini, yaitu:
1. Perlu di test lebih mendalam lagi sampai sejauh mana kompabilitas program2 clipper tersebut berjalan di dalam environment dosemu dan samba. Sebab tentunya sangat beragam fungsi2 yang ada di dalam sebuah program clipper, dan mungkin saja ada yang tidak berjalan dengan baik.
2. Perlu diperiksa lagi sampai sejauh mana penggunaan feature2 yang spesifik milik MS Office yang digunakan oleh user di dalam dokumen officenya. Sebab walaupun OpenOffice telah dapat mengakomodasi sebagian besar fungsi dan feature dari MS Office, tetap saja tidak 100% compatible. Bila ternyata kita menemukan fungsi2 yang tidak berjalan di OpenOffice, maka kita mesti memikirkan solusinya, apakah memang tidak dapat dilakukan sama sekali di OpenOffice, ataukah OpenOffice telah dapat melakukannya namun mesti dari file yang murni native dalam format OpenOffice.
3. Dan yang tentunya tidak kalah pentingnya adalah melakukan backup terlebih dahulu terhadap semua file yang akan dipakai. Sehingga ketika sewaktu2 ditemukan masalah, maka versi awalnya masih ada.
4. Hal terakhir yang saya alami juga penting adalah, memberikan pengertian kepada user, mengapa migrasi ini dilakukan. Berikan penjelasan yang dapat diterima user, dan juga bimbinglah dan sertai user di dalam menggunakan program2 yang baru tersebut. Berikanlah perbandingan2 yang dapat dilihat langsung oleh user, misalnya untuk print di MS Office kita kan buka menu ini dan ini..., nah di OpenOffice kita bukanya menu ini dan ini.
Demikianlah kira2 strategi atau lebih tepatnya pengalaman yang dapat saya share di dalam melakukan migrasi dari MS Windows ke solusi OpenSource atau GNU/Linux.
(Sumber:Arinet.org)

0 komentar:

Posting Komentar

Search on this blog